Jakarta, pewarna-id.com-Saat pandemi Covid-19 melanda seluruh dunia termasuk Indonesia. Dampaknya sangat luar biasa, bukan hanya dampak ekonomi, dampak sosial, tetapi untuk ritual keagamaan pun berdampak. Khusunya dalam prosesi pemakaman orang meninggal yang terpapar Covid-19.
Meskipun WHO mengeluarkan standar protokol kesehatan, namun hal tersebut sering tidak di indahkan atau diabaikan oleh masyarakat.
Misalnya, ada contoh kasus, keluarga mengambil jenazah secara langsung dari mobil ambulance supaya mereka bisa memakamkan sesuai ritual agama yang diyakininya. Di sisi lain, ketika tim medis melakukan prosesi pemakaman, justru berakibat buruk, yaitu tidak sesuai dengan proses pemakaman menurut ritual keagamaan.
Ada kewajaran, jika selama ini, budaya Indonesia memberi penghormatan terakhir pada jenazah yang akan dimakamkan. Ada perbebedaan yang signifikan untuk memakamkan jenajah manusia dengan hewan.
Berkaca pada masalah tersebut, bagaimana sebenarnya ritual pemakaman yang sesuai dengan WHO dan menurut ulama? Apakah ada ada dampak hukum positif, bagi masyarakat yang melanggar protokol kesehataan saat melakukan pemakaman jenazah? Bagaimana dampak hukum bagi tim medis, misalnya ada kecurigaan bahwa orang yang meninggal tersebut tidak terpapar covid-19, namun diperlakukan dengan orang terpapar covid-19?
Untuk menjawab seluruh pertanyaan tersebut, maka PEWARNA Indonesia melalui Thony Ermando, mengagas acara dengan Ikatan Alumni Universitas Kristen Indonesia (UKI) bertema “Prosesi Pemakaman Jenazah Covid-19, sudah manusiawikah?”
Diadakan pada hari Selasa, 07 Juli 2020, Pukul 10.00 – 12.00 WIB. Peserta yang bisa masuk dalam ruang seminar zoom sekita 74 orang dan disiarkan secara live di youtube Fakultas Hukum UKI Jakarta.
Sebelum acara dimulai, doa pembuka dipimpin oleh ketua umum PEWARNA Indonesia Yusuf Mujiono, S.Th. Untuk memulai acara sambutan disampaikan oleh ketua IKA UKI, Saor Siagian, SH.,M.H. Untuk sambutan dari PEWARNA disampaikan oleh Litbang PEWARNA, Ashiong P. Munthe. Moderator yang memimpin Webinar ini adalah Dr.Donna Sampaleng, M.Pd.,D.Th.
Sebelum pemaparan dari seluruh nara sumber dipaparkan hasil survei yang dilakukan oleh Litbang PEWARNA Indonesia yang dilakukan dari tanggal 27 Juni-5 Juli 2020 dengan menggunakan Google Form dengan jumlah responden 43 orang. Pendidikan Terakhir peserta yang terlibat adalah S1/sederajat 69,8%, S2/sederajat 23,3%, D3/sederajat 2,3% dan SMA/sederajat 4,7%. Adapun hasilya sebagi berikut:
Pandemi Covid-19 ini adalah konspirasi bangsa asing untuk melumpuhkan dunia. Setuju dengan pernyataan ini 16,3%, ragu-ragu 39,5%, Tidak Setuju 42,2%.
Saya sudah mengetahui sebelum ini berita terkait keluarga mengambil jenazah secara paksa dari mobil ambulance yang positif covid-19 untuk dimakamkan secara mandiri oleh keluarga. Mengatakan ya 81,4% dan tidak 18,6%.
Saya sudah mengetahu isi video yang beredar secara luas lewat WA terkait prosesi pemakaman yang dilakukan oleh tim medis, namun tidak sesuai dengan ketentuan keyakinan keluarga. Mengatakan tidak 60,5% dan ya 39,5%.
Masalah Covid-19 ini bukan masalah yang serius, karena tidak ada bedanya dengan virus-virus lainnya, sehingga perlu disikapi secara biasa saja. Menyatakan setuju 4,7%, ragu-ragu 16,3% dan tidak setuju 79,1%.
Protokol kesehatan tidak perlu diterapkan secara ketat seperti anjuran WHO maupun gugus tugas percepatan penangan covid-19. Menyatakan setuju 0%, ragu-ragu 7% dan tidak setuju 93%.
Prosesi pemakaman jenazah yang tertular covid-19 sebaiknya diserahkan sepenuhya kepada keluarga tanpa harus ada campur tangan tim medis. Menyatakan setuju 2,3%, ragu-ragu 14% dan tidak setuju 83,7%.
Tim medis yang melakukan prosesi pemakaman tanpa mengikuti Prosedur Khusus WHO sebaiknya mendapat sanksi. Menyatakan setuju 60,5%, ragu-ragu 25,6% dan tidak setuju 14%.
Perlu ada sanksi tegas bagi masyarakat yang tidak mengindahkan protokol kesehatan saat pemakaman dan atau saat dalam kerumunan. Menyatakan setuju 88,4%, ragu-ragu 7% dan tidak setuju 4,7%.
Harus ada dampak hukum positif bagi tim medis yang terbukti menangani jenazah tidak terpapar covid-19 dengan cara penangan jenazah terpapar covid-19. Menyatakan setuju 69,8%, ragu-ragu 25,6% dan tidak setuju 4,7%.
Wartawan PEWARNA, Alex Brory yang pernah mengalami covid-19, memberikan kesaksian, bahwa awalnya mengalami gejala sakit demam biasa, sehingga penanganya minum obat rumahan. Ketika di bawa ke klinik, diagnosisinya dianggap types, DBD atau pneumonia biasa. Namun seiring berjalanya waktu, dilakukan tes swab dan terbukti positif covid-19. Penanganan isolasi mandiri yang ketat, puji Tuhan akhirnya bisa pulih. Pesan Brory adalah “Jaga hati dan jaga diri”.
Paparan dari Dekan FH UKI, Hulman Panjaitan,S.H.,M.H., “Terkait dengan Proses Pemakaman Korban Covid-19, Kepentingan Yang Diperhadapkan: satu. Kepentingan Negara/Masyarakat Luas, yaitu tujuan penetapan ketentuan/aturan adalah untuk mengatur tertib masyarakat/ kesejahteran masyarakat, memutus mata rantai penularan, Melindungi kepentingan masyarakat secara luas. Kedua, Kepentingan Segolongan tertentu Masyarakat Adat: Adakah ketentuan yang dianggap tidak manusiwi dalam prosesi pemakaman korban covid -19, sehingga dianggap merupakan pelanggaran HAM?
HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makluk ciptaan Tuhan dan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (UU No. 39/1999).
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”. “Bila pelanggaran dilakukan oleh aparat, maka dia dapat dianggap melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia; Bila pelanggaran dilakukan oleh pihak ketiga atau keluarga maka akan ada ketentuan yang bisa diterapkan, yaitu: Pasal 212 KUHP, Pasal 214 KUHP, Pasal 178 KUHP”, tandasnya.
Kadep. Koinonia HKBP, Pdt. Dr. Martongo Sitinjak, M.Th., menyampaikan bahwa “Orang yang meninggal langsung dikuburkan tanpa serenomi, jikalau sudah terdampak covid tidak masalah, karena semua orang sudah memahami dampak covid ini”.
Namun, jelasnya “jikalau bukan covid, namaun dikebumikan secara covid, maka ini menjadi masalah”. “Kehidupan, kematian dan kehidupan kekal, yang bisa kita jangkau saat ini adalah kehidupan. Oleh karena itu, kita harus pro kehidupan, maka kita harus memperhatikan orang yang masih hidup. Prosesi pemakaman, silahkan dilakukan, namun harus tetap memperhatikan protokol kesehatan.
Covid bukanlah kutuk, sehingga orang yang terdampak tidak perlu dihindari atau diwaspadai. Perlu mendukung orang yang terpapar. Kita pun harus mendoakan dan mendukung tim medis supaya bekerja dengan baik dan tidak perlu memperkeruh suasana”, jelasnya.
Ketua 1 bidang organisasi IKA UKI. Ketua SC KONGRES IKA UKI. KORDINATOR PENGEMBANGAN PROFESI dan Capasitas IDI Cabang Jakarta Timur, Dr.Jimmy R. Tambunan,Sp.OG menjelaskan “Jenazah yang terdiaknosis covid-19 harus dilakukan SWAB atau sample lainnya.
Demikian juga, karena infeksi penyakit menular lainnya, harus ditangan secara hati-hati”. Lanjutnya “Pemindahan jenazah yang terinfeksi sampai penyambutan jenazah dari rumah sakit hingga sampai kepada keluarga, harus dilakukan dengan protokol kesehatan dengan menggunakan APD. Keluarga juga bisa ikut, namun harus menggunakan APD”. “Jenazah yang terinveksi harus dikavani dengan kedap air, menggunakan peti dengan menutup seluruh celah yang bisa mengeluarkan inveksi.
Setelah di peti baru dipindahkan ke rumah duka. Peti tidak boleh dibuka kembali. Maksimal yang menghadiri rumah duka maksimal 30 orang dengan protocol kesehatan dan maksimal 4 jam jenazah sudah harus dimakamkan dan harus ada jarak minimal 50 meter dari mata air”. Saran beliau, “pemerintah harus membuat aturan terkait ritual keagamaan yang terstandard untuk pemakaman covid-19”. “Masyarakat perlu menghargai tim medis yang sudah bekerja dengan baik. Perlu diingat juga, bahwa meninggal karena covid-19, bukan kejahatan, sehingga harus dihindari seperti orang jahat. Perlakukanlah orang terpapar covid secara manusiawi” pesannya.
Guru besar Universitas Negeri Jakarta, Prof. Dr. dr. James Tangkudung,Sportmed., M.Pd. memaparkah bahwa “orang meninggal itu sudah tidak diperlakukan sebagai manusia lagi, seperti di Jerman, dianggap sebagai barang, karena manusia yang disebut mati ada tiga kriteria, yaitu jantung berhenti, otak tidak berjalan, dan pernafasan berhenti total”.
Terkait pemakaman, lanjutnya “boleh koq dilakukan sesuai ritual keagamaan dengan mengikuti protokol kesehatan sesuai anjuran WHO.
Austraulia, lanjutnya menghadiri duka dan pemakaman bisa lebih dari 30 orang, namun tetap mengikuti protocol kesehatan. “Orang beriman selau melihat hidup kekal, namun manusia yang masih hidup perlu memberi penguatan bagi keluaraga yang berduka, supaya memberi penghiburan. Demi kesehatan, saat ini ada alternatif pemakaman, yaitu dengan pemakaman jarak jauh bisa dilakukan untuk menghindari penularan dari yang sudah meninggal kepada yang masih hidup” sarannya. Saat ini, timnya dengan mahasiswa sedang menggagas pembuatan diagnosis bio biometric untuk mempermudah identifikasi covid-19.
Pendiri LABB Penerapan Hukum Adat Batak sekaligus mantan Hakim Agung RI, Dr. H.P. Panggabean, SH, MS, menyampaikan bahwa “Acara pemakaman dilakukan untuk keluarga yang meninggal. Perlu ada penghiburan bagi keluarga yang sudah ditinggal.
Ada tiga dalam buda Batak terkait yang meninggal, yaitu Partangiangan, Sarimatua, Saur matua, Saur Matua Mauli Bulung”. “Pemakaman secara budaya Batak bisa dilakukan, namun hanya terbatas orang tertentu yang hadir. Biasanya hanya berdoa atau partangiangan saja. Untuk acara adatnya bisa ditunda dengan alasan karena ada wabah covid-19, biasa saja.
Sedangkan dalam acara pernikahan dalam budaya Batak selama covid-19 ini juga dibatasi hanya 20 orang. Setelah catatan sipil dan pemberkatan di gereja lalu dilanjutkan dengan acara yang hanya dihadiri orang yang sangat terbatas”, pungkasnya. “Acara adat bisa ditunda setelah selesai covid-19, baik untuk pernikahan maupun untuk pemakaman dan yang lainnya” tutupnya.
Acara webinar ini berjalan dengan baik dan peserta banyak yang menyampikan pertanyaa. Akhir kegiatan moderator memberi kesimpulan dari hasil paparan narasumber. Pranatacara, Dr. Erni Murniarti, M.Pd, memberikan kesempatan kepada Ketua Umum PEWARNA Indonesia menyerahkan secara simbolis sertifikat penghargaan kepada narasumber. Kegiatan pun ditutup dengan doa oleh pranatacara. Ashiong Munthe