Jakarta pewarnaid Majelis Umat Kristen Indonesia (MUKI) bersama Persatuan Wartawan Nasrani Indonesia (PEWARNA) menggelar webinar Jumat 3/9/21 mengambil tema Relevansi UU Penodaan Agama di Era Digital dengan menghadirkan narasumber dibidangnya.
Era digital cepat atau lambat keterbukaan ini semakin meluas dan tak bisa dibendung, sekalipun sudah ada UU Penodaan agama yang mengaturnya, tetapi arus kuat digitalisasi sangat tak mungkin dibatasi, artinya kesiapan manusia menerima keterbukaan sekalipun tak menyenangkan itu pasti akan terjadi dan harus dipersiapkan sehingga kasus-kasus keberagaman tak terusik.
Berangkat dari latar belakang tersebut MUKI bersama PEWARNA didukung aliansi Perekad menggelar webinar dengan tema Relevansi UU Penodaan Agara di Era digital agar ada kesimbangan bernalar dan berpikir
Djasarmen Purba Ketua Umum MUKI membuka webinar dengan memberikan apresiasi kepada semua narasumber yang bersedia hadir untuk memberikan pencerahan bagi masyarakat terutama mengenai UU Penodaan di era di gital ini.
Dalam webinar yang menghadirkan beberapa narasumber antaranya Imam Besar Masjid Istiqlal Prof. Nasaruddin Umar, ketua umum PGLII Pdt. Dr. Ronny Mandang, Pemerhati Media KRT Roy Suryo, praktisi hukum Dr. Rinto Wardana S.H. M.H. C.R.A. serta kesaksiaan korban ITE tentang penodaan agama Abraham Moses yang dulu bernama Saifuddin Ibrahim sedangkan acara itu sendiri di moderatori Caesario Colondam sekrteris jendral MUKI di bantu Co Host Ashiong Munthe jurnalis Pewarna.
Ketua Umum PGLII Pdt Dr.Ronny Mandang, dalam paparan nya mengatakan bahwa berdasarkan kitab Suci masing masing yang di dakwahkan bukan menyerang agama lain, tetapi hendaknya masing-masing agama dalam menjalankan dakwah maupun misinya tetap menjunjung toleransi tanpa harus menyerang agama lain.
Sementara Guru Besar Ilmu Tafsir Al Quran Prof. Nazaruddin Umar dalam paparan nya mengatakan di zaman digitalisasi sudah lebih matang. Lebih matang dalam menghadapi isu-isu dan melapangkan dada. Jika ada persoalan tentang agama, ada baiknya pemerintah tidak memamerkan, karena akan memancing masyarakat.
Lebih lanjut bagi bapak yang pernah menjabat wakil menteri agama ini karena persoalan agama di Indonesia sangat sensitif. Persoalan kecil jangan dibesarkan, saling memaafkan dan biarkan masyarakat menilai.
“Negara kita Indonesia adalah Negara Hukum, ada beberapa yang keberatan dan ada yang tetap menghargai, perlu ada nya kematangan spiritual,” tukasnya bijak.
Dalam paparan nya, Prof. Nasaruddin juga mengatakan ingin membuat terowongan dalam arti simbol intoleransi, dan bisa jadi icon Jakarta, bahkan mimpinya antara Istiqlal dan Katedral tanpa ada batas satu pagar.
KRMT Roy Suryo Notodiprojo, seorang Pemerhati Teknologi dan Komunikasi Multimedia dalam paparan nya mengatakan bahwa dalam generasi sesuai faktor U, teknologi bisa menyatukan dalam usia yang berbeda-beda. Di Indonesia memiliki HP lebih banyak dari jumlah penduduk di Indonesia.
Artinya kata Roy keleluasaan untuk menggunakan teknologi, dengan perkembangan teknologi, semakin leluasa dalam membaca berita dan mendapat informasi dengan cepat. Permasalahan nya dalam era informasi membawa perubahan besar dalam tetanan kehidupan.
Dan kejahatan masa kini dalam bidang ekonomi melalui email dan website, perdagangan manusia berupa prostitusi online, terrorism berupa ajaran-ajaran radikalisme melalui media sosial. Media sosial menjadi arena pertempuran propaganda politik di Indonesia. Aktor pelaku memanfaatkan pasukan siber bayaran untuk memanipulasi opini publik. Melihat semua ini penting bagi masyarakat untuk tetap hati-hati dalam menerima suatu berita, istilahnya sharing sebelum share, tukasnya.
Sedangkan Rinto Wardana sebagai praktisi hukum yang baru saja meraih gelar doktor ini lebih melihat bahwa dalam UU PNPS No 1 tahun 1965 menekankan adanya musyawarah terlebih dahulu sebelum orang yang ditengarai melakukan penodaan tersebut terkena saksi pidana.
Senada dengan Rinto ketua umum PPHKI Fredrik Pinakunary menambahkan bahwa UU tersebut adalah produk politik dan masih berlaku hingga kini bahkan dikuatkan oleh MK, makanya apapun itu masyarakat harus tetap dihargai dan ditaati. Namun yang terpenting bagi Fredrik akan lebih baik seseorang yang sedang melakukan dakwah ataupun misi tetap memakai kitab yang diyakininya tanpa harus menggunakan kitab agama lain.
Hadir dari Perekad Pdt Drs Harsanto Adi Ketum API yang juga memberikan tanggapan seputar diskusi, Handoyo Budisedjati Ketum Vox Point dan Ketua Presidium PEREKAD, Rev, Louis Pakaila Ketum PMKIT yang membuka dalam doa dan Yusuf Mujiono Ketum PEWARNA.