Pewarna-id.com, Jakarta – Pernikahan adalah salah satu lembaga yang diciptakan Allah yang dikenal manusia, dan dalam iman Kristen, pernikahan dianggap sebagai perjanjian suci yang dipersatukan oleh Allah. Namun, dalam realitas kehidupan, perceraian sering kali menjadi pilihan yang diambil oleh pasangan yang menghadapi masalah serius dalam pernikahan. Pertanyaan yang sering muncul adalah: apakah pantas bagi seorang pendeta, yang seharusnya menjadi teladan dalam iman dan moral, untuk bercerai? Pertanyaan ini menjadi semakin penting mengingat peran pendeta sebagai pemimpin rohani dan pengajar dalam jemaat.
Pernikahan sebagai Institusi Ilahi
Pernikahan dalam Alkitab dipandang sebagai institusi ilahi yang dirancang oleh Allah sejak penciptaan. Dalam Kejadian 1:27 dan 2:24, dinyatakan bahwa Allah menciptakan manusia sebagai laki-laki dan perempuan dan menghendaki mereka untuk bersatu dalam pernikahan. Pernikahan bukan hanya sekadar hubungan kontraktual antara dua individu, tetapi merupakan perjanjian rohani yang melibatkan Allah sebagai saksi dan pengikat.
Matius 19:4-6 menegaskan bahwa pernikahan adalah penyatuan yang tidak boleh dipisahkan oleh manusia: “Jawab Yesus: “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” Ayat ini sering kali menjadi dasar bagi pandangan Kristen tentang ketidakbolehan perceraian, menekankan bahwa pernikahan adalah komitmen yang sakral dan kekal.
Maleakhi 2:13-16 dan Tuhan Benci Terhadap Perceraian
Maleakhi 2:13-16 menyatakan bahwa Tuhan membenci perceraian dan menganggapnya sebagai bentuk ketidaksetiaan terhadap perjanjian pernikahan. Ayat ini menegaskan bahwa perceraian bukan hanya masalah antara suami dan istri, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap kehendak Allah.
Ajaran Yesus tentang Kasih dan Pengampunan
Yesus mengajarkan pentingnya kasih dan pengampunan dalam hubungan antar manusia. Dalam Matius 18:21-22, Yesus menekankan bahwa pengampunan harus diberikan tanpa batas. Prinsip ini relevan dalam konteks pernikahan, di mana pasangan diharapkan untuk saling mengasihi dan mengampuni, bahkan ketika menghadapi kesulitan.
Janji Tuhan untuk Memberikan Kekuatan
Dalam Filipi 4:13, Paulus menulis bahwa “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.” Ayat ini mengingatkan kita bahwa Tuhan memberikan kekuatan dan pertolongan kepada mereka yang menghadapi beban berat, termasuk dalam konteks pernikahan yang bermasalah.
Analisis Teologis
Untuk memahami konsep pernikahan dan perceraian secara lebih mendalam, penting untuk menganalisis istilah-istilah dalam bahasa asli Alkitab. Dalam bahasa Yunani, kata “gamos” (γάμος) digunakan untuk pernikahan, yang berarti “perayaan” atau “perjamuan,” menunjukkan bahwa pernikahan adalah peristiwa yang penuh sukacita dan berkat. Sementara itu, kata “apoluo” (ἀπολύω) digunakan untuk perceraian, yang berarti “melepaskan” atau “membebaskan,” menunjukkan pemutusan ikatan yang seharusnya tidak terjadi.
Dengan memahami istilah-istilah ini, kita dapat melihat bahwa pernikahan dalam pandangan Alkitab adalah ikatan yang penuh sukacita dan berkat, sementara perceraian adalah tindakan yang bertentangan dengan kehendak Allah. Oleh karena itu, perceraian seharusnya dihindari dan hanya dipertimbangkan dalam situasi yang sangat mendesak.
Kesimpulan
Dari analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa pernikahan adalah institusi ilahi yang dipersatukan oleh Allah dan tidak boleh dipisahkan oleh manusia. Perceraian, meskipun diperbolehkan dalam kasus tertentu, bukanlah kehendak Allah dan seharusnya dihindari sebisa mungkin. Perceraian merupakan pemberontakan terhadap Allah itu sendiri. Ajaran kasih dan pengampunan dalam Kristen memberikan panduan bagi pasangan untuk mengatasi masalah mereka dengan cara yang mencerminkan kasih Kristus. Sebagai pemimpin gereja apakah pantas pendeta bercerai? dimana iman, pengharapan dan kasih? ataukah perceraian disebabkan oleh ego pribadi, kesombongan, moral yang rendah dan tidak berintegritas?
Sebagai pemimpin rohani, pendeta diharapkan menjadi teladan dalam iman dan moral. Oleh karena itu, dalam mengatasi ambang perceraian bagi seorang pendeta seharusnya dapat mengasihi dan mengampuni serta meminta pertolongan Tuhan Yesus Kristus memperbaiki pernikahan telah berjalan. Namun, pendeta harus dibantu mencari bimbingan rohani dari konselor profesional dan dukungan dari jemaat untuk mengatasi ambang perceraian tersebut. Pro Ecclesia Et Patria .(legacynews.id, Antonius Natan | Dosen STT LETS | Fasilitator Bapa Sepanjang Kehidupan)